Arena Pergulatan Kata-kata

Kehormatan memudar/Ideogram

DIKABARKAN, ribuan guru honorer di Karawang, Garut, Blora, dan Sukabumi melakukan aksi mogok mengajar. Hal ini dipicu oleh ketidakpuasan guru-guru honorer terkait batasan usia 35 tahun untuk dapat menjadi calon pegawai negeri sipil. Sebagian lainnya disebabkan pernyataan pejabat terkait bahwa guru honorer itu ilegal dan seluruh rapor siswa yang ditandatangi guru honorer adalah tidak sah.

Pada saat yang sama, di Jakarta, honorarium 2.113 penari Ratoh Jaroe pada upacara pembukaan Asian Games yang membuat decak kagum dunia itu belum tuntas. Ada indikasi penyimpangan penggunaan dana oleh pihak sekolah.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V (2016), dalam ataupun luar jaringan, memuat lima lema yang mengandung kata dasar “honor”, yakni honor, honorarium, honorer, honorifik, dan honoris causa. Honor diartikan seperti halnya honorarium, yakni upah sebagai imbalan jasa; upah di luar gaji. Honorer terdiri atas dua pengertian: pertama, bersifat sebagai kehormatan dan, kedua, bersifat menerima honorarium (bukan gaji tetap).

Honorifik berkenaan dengan penggunaan ungkapan penghormatan dalam bahasa untuk menyapa orang tertentu. Terakhir, honoris causa diartikan “karena alasan kehormatan”; gelar doktor yang diberikan kepada seseorang karena jasa-jasa dan diperoleh bukan dengan ujian.

Definisi kata honor beserta turunannya menurut KBBI tersebut menarik untuk dibaca ulang karena adanya kondisi-kondisi faktual yang telah menjadi berita sehari-hari berikut.

Meregang nyawa

Pertama, seorang aparatur sipil negara yang diangkat oleh dan telah menerima gaji dari negara memperoleh honor atau honorarium (juga dari negara) atas pekerjaan yang sudah menjadi tugas dan fungsinya. Kata “memperoleh” itu dapat berupa hasil dari perbuatan aktif atau pasif. Aktif bagi perencana dan pengguna anggaran yang tahu bahwa hal itu salah namun tetap merealisasikan anggaran; dan pasif buat aparatur sipil negara yang menerima “kebijaksanaan” dari atasannya itu sebagai “rezeki nomplok”.

Dan, kondisi semacam itu biasanya hanya dapat ditemukan dalam proses pengawasan atau pemeriksaan keuangan, tak bisa terkuak dengan sendirinya.

Hatta, ketika uang negara keluar dua kali atas satu masukan-proses-keluaran yang sama, saat itulah terjadi kerugian negara. Perkembangan hukum terkini memosisikan kerugian negara sebagai salah satu unsur yang wajib dipenuhi dalam proses pembuktian terjadinya tindak pidana korupsi. Dengan demikian, aparatur sipil negara yang menerima honor yang bukan merupakan haknya tersebut berpeluang besar untuk tersangkut perkara korupsi. Nah!

Kedua, jika pegawai honorer dipekerjakan negara tidak berdasarkan kualifikasi tertentu dan perekrutannya tidak sesuai dengan kebutuhan instansi, melainkan hanya bermusabab pada nepotisme, koncoisme, dan sogok-menyogok, masih dapatkah ia dibilang menduduki pekerjaan terhormat?

Karena kondisi semacam itu, tak heran bila kinerja suatu institusi negara tak pernah secemerlang pualam dan anggaran belanja yang seharusnya dimaksudkan demi kemakmuran rakyat tersedot untuk belanja pegawai-pegawai honorer. Bahkan, dalam beberapa kejadian, pegawai honorer justru menjadi pelaku dari perbuatan tidak terhormat seperti korupsi. Di tempat lain, 70 persen pegawai honorer malas bekerja. Hatta, masih patutkah ia disebut honorer?

Kekecualian tentu saja terletak pada guru honorer. Dengan penghasilan jauh di bawah standar, guru-guru honorer—terlebih di daerah—harus menjalani beban kerja di atas standar; yang tak hanya berisiko pada urusan perut, melainkan juga bersangkut paut dengan nyawa. Kabar terkini, seorang guru honorer meregang nyawa di tangan anak didiknya sendiri. Apa lacur?

Profesi guru telah dengan sendirinya terhormat. Ditambah atribut “honorer”, maka seorang guru seharusnya diperlakukan super terhormat. Guru honorerlah yang secara riil menutup kekurangan jumlah tenaga pendidik kita, baik di sekolah negeri maupun swasta, di wilayah manapun di penjuru Nusantara.

Intisari konstitusi kita (baca: Pembukaan) menyatakan, salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hatta, sungguh ironis jika guru honorer sebagai ujung tombak pelaksana tujuan negara itu diperlakukan tidak terhormat dan disudutkan dengan kata “ilegal” dan seterusnya.

Linguistik historis

Ketiga, sudah tepatkah pemberian honoris causa sebagai gelar doktor kehormatan kepada segelintir tokoh publik kita oleh universitas? Tidak sedikit berita miring soal tokoh publik yang menerima gelar doktor honoris causa. Beberapa pihak mempertanyakan pemberian itu karena kontribusi tokoh tersebut dalam ilmu pengetahuan diragukan. Sebagian lainnya menilai sang tokoh belum memenuhi kualifikasi, tata cara, dan syarat-syarat prosedural formal penerima doktor honoris causa.

Sejumlah kalangan pun lantas memelesetkan honoris causa menjadi “humoris causa” atau “horroris causa”. Gelar kehormatan pada akhirnya berubah menjadi olok-olok belaka.

Sudah saatnya kata honor dan turunannya dipulihkan dari segala kondisi faktual yang menyimpang dari makna aslinya yang demikian terhormat. Kita tengah berada dalam arena pertaruhan tentang pihak mana yang akan menang dalam pergulatan linguistik historis ini: makna asli kata honor dan turunannya ataukah kondisi faktual riil yang terjadi hari ini.

Kita tentu berharap pihak pertamalah yang keluar sebagai pemenang. Kita menentang praktik-praktik yang menodai kehormatan makna kata honor dan turunannya. Kita pun menolak—jika hal demikian memang ada—upaya-upaya pengubahan arti leksikal kata honor dan turunannya dalam KBBI hanya demi mengepaskannya dengan kondisi faktual. Meski dalam linguistik historis sebuah kata dapat berubah, bergeser, meluas, menyempit, mengembang, atau menyimpang dari makna aslinya, sebisa mungkin kita harus mencegah hal itu terjadi pada kata honor dan turunannya.

Jangan sampai, di masa depan, anak cucu kita memahami kata honor, honorarium, honorer, honorifik, dan honoris causa serupa belaka maknanya dengan kata korup, korupsi, koruptor, koruptif, kecurangan, dan tipu daya. Sungguh jangan! [Teluk Kuantan, 11102018]


*) Tulisan ini pertama kali disiarkan oleh harian Analisa pada 24 Januari 2019.