Negara Kesatuan dan Polemik Perda Syariah

Satu suasana di Sungaiguntung, Kecamatan Kateman, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau: suatu daerah yang turut membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia/APEA

POLEMIK terkait peraturan daerah (perda) syariah yang meruyak belakangan ini menunjukkan bahwa konsepsi negara kesatuan yang diperjuangkan para pendiri Republik perlahan mulai terabaikan.

Polemik bermula dari pidato Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie, dalam perayaan hari ulang tahun PSI. Dalam orasinya, Grace menyatakan secara lantang: “PSI tidak akan pernah mendukung perda-perda Injil atau perda-perda syariah. Tidak boleh ada lagi penutupan rumah ibadah secara paksa. PSI akan mencegah lahirnya ketidakadilan, diskriminasi, dan seluruh tindak intoleran di negeri ini.”

Tak lama seusai pidatonya tersebar luas di media sosial, Grace dilaporkan ke kepolisian oleh Persaudaran Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) melalui kuasa hukumnya, Eggi Sudjana. PPMI menilai pidato Grace Natalie mengandung unsur ungkapan permusuhan dan kebencian terhadap agama.

Beberapa tokoh pun turut berkomentar. Ma’ruf Amin, cawapres nomor urut 1 yang didukung PSI, menyatakan bahwa perda syariah dibentuk oleh daerah masing-masing. Jika suatu daerah menghendaki adanya perda syariah, Ma’ruf tak mempermasalahkannya, termasuk jika ada perda Injil yang dibuat di daerah tertentu.

Senada dengan Ma’ruf, cawapres nomor urut 2, Sandiaga Salahuddin Uno, menyatakan bahwa perda syariah merupakan bagian dari kearifan lokal yang tidak perlu diganggu gugat lagi.

Dalam perspektif berbeda, pakar hukum tata negara, Mohammad Mahfud MD, mengatakan bahwa hukum agama dan sejenisnya merupakan hukum perdata yang tak perlu dirancang menjadi perda. Perda, kata Mahfud, tak seharusnya memuat peraturan keagamaan yang sangat pribadi, misalnya tentang tata cara beribadah. Sebab di era yang sudah bebas beribadah seperti sekarang, tata cara orang sembahyang tak perlu lagi diatur.

Bukan perda syariah “an sich”

Menanggapi polemik terkait perda syariah tersebut, advokat dan politikus Yusril Ihza Mahendra menulis esai berjudul “Perda Syariah: Ada atau Tidak Ada” di Tribunnews.com (22/11/2018). Saya kira, hanya tokoh yang disebut belakangan inilah yang paling otoritatif secara keilmuan karena menyatakan argumen dalam bentuk tulisan.

Meskipun banyak sekali kesalahan ejaan, penulisan, dan hal-hal redaksional lain dalam esainya itu—sehingga saya sangsi apakah esai itu benar-benar ditulis olehnya—Yusril menjabarkan argumen-argumennya dengan cukup jernih dan gamblang.

Dalam tulisannya, Yusril secara kritis mempertanyakan definisi dari frasa “perda syariah”. Menurut Yusril, bila yang dimaksud adalah perda yang secara khusus diberi judul syariah, misalnya Perda Provinsi Banten Nomor 10 Tahun 2018 tentang Syariah, di daerah manapun di Indonesia tidak ada perda semacam itu.

Namun, lanjut Yusril, jika yang dipersoalkan adalah perda yang mengandung anasir keagamaan, tentu hal itu tidak bisa dihindari. Norma-norma agama merupakan salah satu sumber pembentukan hukum positif di Indonesia. Sebab, masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama dan hukum positif wajib mengindahkan dan mengadopsi nilai-nilai yang hidup di masyarakat.

Dengan mempertanyakan definisi frasa “perda syariah”, rupanya Yusril sedang menantang Grace Natalie untuk menjelaskan lebih lanjut seperti apa perda syariah yang ditolaknya itu. Dan orasi Grace yang menggebu-gebu itu memang tidak menjelaskan apa pun. Semacam slogan mentah tanpa referensi sehingga memang rentan disalahpahami.

Laporan Tempo (22/11/2018) barangkali bisa membantu menjelaskan lebih jauh pidato Grace. Disebutkan, berdasarkan catatan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, dari 1999 hingga 2006 ada 421 regulasi yang diskriminatif, dari peraturan daerah hingga surat edaran, yang sebagian bersandar pada anasir keagamaan. Sebanyak 333 peraturan mengarah pada perempuan dengan membatasi aktivitas atau penampilan mereka.

Kata “sebagian” dalam laporan Tempo itu menarik karena menunjukkan bahwa tidak semua regulasi daerah yang diskriminatif itu berlandaskan agama dan tidak semua regulasi daerah yang berlandaskan agama pasti diskriminatif. Dengan demikian, seharusnya perda diskriminatiflah yang dipersoalkan, bukan perda syariah an sich.

Kewenangan pemerintah pusat

Lalu, bagaimana sesungguhnya status perda syariah alias perda yang bermuatan anasir keagamaan jika diteropong dalam optik yuridis? Menjawab pertanyaan ini, kita dapat membaca ulang esai Yusril Ihza Mahendra tadi.

Tulisan Yusril itu memang terkesan netral, ilmiah, dan sepertinya berusaha meredakan polemik. Namun sebetulnya ada hal yang coba disembunyikan dalam untaian paragraf-paragrafnya.

Enam paragraf pertama esainya berbicara tentang perda. Paragraf berikutnya menjelaskan tentang makna luas syariah sebagai salah satu sumber hukum. Lalu di paragraf kedua belas, Yusril menulis: “Dalam konteks negara, syariah dapat dijadikan sebagai sumber hukum, yakni rujukan dalam proses pembentukan hukum di pusat maupun di daerah.”

Kalimat di paragraf kedua belas itulah yang menjadi titik belok bahasan yang awalnya tentang perda berubah menjadi kajian atas pembentukan regulasi yang domain kewenangannya berada pada pemerintah pusat. Beberapa tamsil yang Yusril sebutkan memperjelas hal itu: undang-undang tentang lalu lintas, undang-undang tentang kewarisan, dan undang-undang tentang perkawinan. Saya rasa, pembentukan regulasi oleh pemerintah daerah tidak dapat begitu saja dipersamakan dengan pembentukan regulasi oleh pemerintah pusat.

Berdasarkan konstitusi, Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa pemerintahan daerah—yang terdiri atas provinsi, kabupaten, dan kota—menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali dalam hal urusan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015—yang merupakan turunan dari Pasal 18 UUD NRI 1945—pada Pasal 10 menyebutkan bahwa agama adalah satu dari enam urusan pemerintahan absolut yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam Pasal 250 UU 23/2014, dijelaskan bahwa perda dan peraturan kepala daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum yang, antara lain, berupa diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, dan gender.

Dari kutipan-kutipan pasal tersebut, dapat disimpulkan dua gagasan pokok. Pertama, dalam negara kesatuan, urusan yang bertungkus lumus dengan agama adalah urusan pemerintahan absolut yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dengan begitu, munculnya regulasi terbitan pemerintah daerah yang mengatur hal ihwal yang berkait paut dengan agama menjadi nihil landasan yuridisnya.

Kedua, kendati pemerintah daerah diberi kewenangan untuk membentuk regulasi, regulasi yang terbentuk itu, sekalipun berasal dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang antara lain berupa norma agama, tidak boleh diskriminatif dan mengabaikan keragaman masyarakat serta kepentingan umum. [Pekanbaru, 23112018, 20.17]


*) Tulisan ini pertama kali disiarkan oleh harian Analisa pada 21 Januari 2019.