Kembalikan kepada Pemuka Agama

Santri dan Kiainya/Meme Comic Santri

PENERBITAN peraturan daerah (perda) yang dibarengi dengan penertiban tempat hiburan malam menjelang datangnya bulan Ramadhan seyogianya disikapi sebagai sesuatu yang positif. Positif karena dengan demikian pemerintah (daerah) tanggap akan pentingnya pemenuhan hak asasi warga negara yang diakui konstitusi, yakni hak untuk beribadah menurut agama dan/atau kepercayaan masing-masing.

Lantas, dengan begini bukankah fungsi pengayoman negara terhadap warganya menjadi terealisasi? Terbitnya perda tersebut tidak boleh ditafsirkan sebagai upaya intervensi negara untuk membatasi kemerdekaan masing-masing individu, melainkan harus dilihat sebagai praksis dari konsep negara kesejahteraan (welfare state)—di mana, dalam konsep ini, turut-campurnya negara adalah demi kepentingan yang lebih besar: terciptanya ketertiban dan kesejahteraan buat sebanyak mungkin orang secara merata.

Yang menjadi persoalan sekarang, bagaimana kesinambungan antara isi perda dan pelaksanaannya? Tak jarang, ketika sampai di lapangan, penegakan dari bunyi tertulis perda menjadi amat garang dan mencekam. Penertiban tidak melulu harus dilakukan melalui perusakan. Pendekatan persuasif mestinya lebih banyak digunakan karena pihak yang ditertibkan memunyai hajat hidup yang sama dengan warga negara lain.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Falsafah negara, Pancasila, mendudukkan kepercayaan kepada Tuhan (baca: agama) dalam level tertinggi. Konstitusi kita, UUD NRI 1945, menyebutkan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa. Islam sebagai agama yang paling banyak dipeluk mewarnai pelbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga bulan yang amat dihormati dan dimuliakan seorang Muslim, Ramadhan, mesti pula dihormati oleh segenap bangsa dan negara.

Kendati demikian, bangsa Indonesia pun terkenal sebagai bangsa yang sangat toleran. Sikap demikian menjadi wajar di tengah keanekaragaman dan kemajemukan yang menyusun fondasi negara ini. Pihak mayoritas tidak bisa secara mutlak memaksakan kehendaknya tanpa memerhatikan hak pihak lain yang berbeda-beda. Masing-masing orang dan/atau golongan mesti mengerti ini, bahwa ada hal lain yang harus diutamakan: kemaslahatan bersama.

Menurut hemat saya, dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan, dirasa kurang memberi manfaat dengan penerbitan perda buat menertibkan tempat-tempat hiburan yang tidak “islami” tersebut. Justru dengan demikian, pemerintah daerah terlihat sangat munafik, mengebiri ladang pencaharian warganya, sehingga seolah-olah sedang mencari muka supaya pihak-pihak tertentu bersimpati dan lengah melakukan kontrol sosial terhadap mereka. Memang, sesuai konsep welfare state yang saya singung di depan, aksi penertiban semacam ini perlu, tetapi dengan catatan, tidak dilakukan melalui jalan kekerasan. Itu pun hanya untuk tempat-tempat yang “mengkhawatirkan” dan keberadaannya dapat merusak moral masyarakat. Artinya, buat tempat-tempat semacam ini, penertiban penting dilakukan kapan saja, bukan cuma menjelang atau selama Ramadhan.

Solusi paling efektif untuk menjaga kesucian Ramadhan adalah dengan mengembalikan tanggung jawab sepenuhnya kepada para pemuka agama (baca: alim ulama). Ulama, kiai, dai, ustadz, atau apapun sebutannya, mesti berperan aktif membimbing, berdakwah, dan melakukan syiar Islam kepada umat demi keluhuran akhlak mereka. Akhirnya, kesadaran akan merekah dari masing-masing pribadi Muslim, dan mereka tak mudah tergoda untuk berbuat maksiat, memperturuti nafsu sesaat yang sesat. [01082010]