Putri Sheikha dan Jendela Ajaib

Putri Sheikha dan Jendela Ajaib/FTP

TERSEBUTLAH seorang putri dari Negeri Benda bernama Sheikha. Parasnya yang rupawan telah lama tersohor di kalangan pangeran dari seluruh penjuru dunia. Bahkan, sejak sang putri belum genap berusia satu tahun.

Saat itu Putri Sheikha masih tinggal bersama Mami dan Dayang Roes. Dan sang papi yang diidolainya masih sibuk bergerilya melawan serangan beruk berlidah tajam bersenjatakan kata-kata.

Selayaknya bayi belum-genap-satu-tahun pada umumnya, Putri Sheikha belum bisa menjelaskan pengalaman-pengalaman gerilya papinya kepada pangeran-pangeran yang kebetulan beranjangsana ke istana. Tiada sambutan lain yang mesti diterima pangeran-pangeran malang itu selain teriakan-teriakan khas seorang bayi dan gumaman yang terdengar tanpa arti. “Ah-ah, uh-uh, ma-mam,” persis seorang bayi.

Namun, dalam jeritan dan gumaman tanpa arti itu, sesungguhnya Putri Sheikha sedang menggebu-gebu berkisah tentang pengalaman-pengalaman seru yang dialami papinya di dunia maya. Sang putri tahu betul bahwa gerilya yang dilakukan papinya itu sungguh menarik dan teramat mengasyikkan buat dijajal bahkan untuk ukuran seorang bayi.

Sembari mencoba merangkai sayap pesawat mainan yang copot sebelah, sebenarnyalah Putri Sheikha sedang membayangkan berkelana ke negeri-negeri jauh, berkenalan dengan kawan-kawan baru, melawan musuh-musuh negara, seperti yang kini amat menyita waktu papinya. Tampaknya bayi pun bisa merasa sangat bosan dan begitu tertarik untuk mencoba petualangan-petualangan baru akibat suntuk hari demi hari dihabiskan di rumah saja.

Dalam petualangan yang dibayangkannya seraya mendorong-dorong Lani, bus kuning sahabat Tayo si bus biru sobat para balita, sang putri memutuskan untuk mengajak Petok Keok, si ayam jago berjengger merah, dan Miniso Jumbo, si beruang bocah berwarna jambon. Tak ketinggalan, Dedek Kaka si badak bercula satu yang jago angkat besi dan Paijo Artamevia si kuda laut yang jago menyanyi tampaknya juga mesti turut menemani.

Tentu saja Dayang Roes tak pernah berpikir sekejap pun bahwa bayi yang ada di hadapannya ini sedang mengkhayalkan hal ihwal sefantastis itu. Selain karena biasanya Dayang Roes tidak pernah berpikir apapun di luar tupoksinya, dalam pikiran si dayang yang jarang gosok gigi itu seorang bayi tetaplah bayi yang pada waktu membetulkan sayap pesawat mainan yang copot pun tampak begitu polos dan menggemaskan.

***

HARI demi hari Putri Sheikha lalui dengan belajar mekanika dan elektronika dan sesekali matematika secara terselubung melalui mainan-mainan yang dipasok Mami nyaris saban hari. Selain itu, minimal satu jam setiap hari, Putri Sheikha belajar mistika, filsafat, dan kisah-kisah tentang keajaiban fauna dari buku dongeng yang dibacakan Mami sehabis magrib.

Saat pulang, Papi pun selalu mengisahkan pengalaman-pengalaman barunya yang selalu ditanggapi Putri Sheikha dengan kayang dan salto. Kayang dan salto, buat seorang bayi, adalah ekspresi kegembiraan hakiki yang hanya bisa dirasakan oleh seorang bayi, tentu saja.

Dan demikianlah ilmu pengetahuan terus menerus dipupuk dan dibina dalam kepala Putri Sheikha sehingga daya khayalnya pun semakin kaya dan cenderung menggelembung.

Saat Putri Sheikha sudah bisa berdiri di atas kaki sendiri, Mami kini mengerti bahwa putrinya itu amat menggandrungi jendela-jendela. Kala mimik sang putri mengarah ke gelagat rungsing, dan pertanda kerewelan tak berujung mulai memancar, Mami buru-buru memberdirikannya di samping jendela. Tak perlu berganti menit, mimik rungsing dan gelagat rewel pun sontak lenyap dan Putri Sheikha mendadak tertawa-tawa seketika.

Mami tentu tak tahu pasti apa yang membuat Putri Sheikha demikian bahagia ketika berdiri di depan jendela. Dayang Roes apalagi. Pengarang hikayat ini pun sebenarnya tak begitu paham mengapa sang putri bisa tertawa-tawa sebegitu dramatisnya hanya karena sepotong jendela. Namun, demi kelangsungan hikayat ini, mau tak mau pengarang harus berspekulasi dan menerka-terka, juga memainkan ilmu cocoklogi. Sebab, kalau tidak, bagaimana pula kelanjutan hikayat ini?

***

RUPA-RUPANYA, di hadapan jendela, sang putri dapat melihat segalanya. Tingkah Papi yang sedang mengendap-endap laksana maling jemuran di suatu Jumat yang gerimis segera tampak di depan matanya.

Kelak di kemudian hari Putri Sheikha diceritai Papi soal pengalamannya mengendap-endap dalam rangka memeriksa akun seekor primata. Akun ini, kata Papi, gemar sekali menebar kebencian dan nuansa permusuhan di jagat maya. Satu kata saja yang keluar dari ujung jempolnya, rusak dan hancurlah suatu kota.

Esoknya Papi menemukan bahwa siamang sok suci yang mengoperasikan akun ini terbukti merugikan negara. Tanpa ba-bi-bu, Papi pun menyiapkan kalimat tandingan setebal lima halaman yang dengan mudah menjebloskan makhluk durjana itu ke Neraka.

Di hari yang lain Putri Sheikha mesam-mesem sendiri melihat tingkah kakak sepupu tercintanya menghajar pria pongah bermulut buaya. Dengan tenaga dalamnya, Putri Alya, kakak sepupunya itu, berhasil membuat pria itu terkapar dan lalu menangis tersedu-sedu.

Sudah lama orang-orang muak dengan tingkahnya, kata Putri Alya kepada Putri Sheikha saat keduanya telah sama-sama menjadi remaja beberapa tahun kemudian. “Seorang laki-laki memang sesekali harus dihajar supaya dia sadar bahwa dunia ini tidak dihuni dia seorang dan bersikap pongah dan congkak itu kebegoan pertama yang di masa lalu hanya dilakukan oleh Iblis,” ujar Putri Alya sengit.

Di jendela ajaib itu Putri Sheikha juga menemukan banyak sekali penderitaan manusia. Sekelompok manusia yang terusir, tertindas, tergusur, dan sengsara karena keyakinan yang berbeda, ketidakberdayaan secara ekonomi, dan akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas. Beberapa jiwa yang kecewa dengan dunia lantas meledakkan diri hingga menjadi potongan-potongan yang tak lagi dikenali.

Selebihnya adalah manusia-manusia yang terlalu mencintai dunia sehingga melakukan segala upaya yang tak jarang merampas hak manusia lain demi memenuhi jiwa mereka dengan hal-hal penuh keduniawian. Sebagian lainnya seolah-olah memperjuangkan nilai-nilai ilahiah tapi sesungguhnya hanya mengejar ambisi-ambisi hedonistik belaka. Dan sebagian kecil dari mereka menderita dengan rasa syukur dan penuh suka cita kendati sesungguhnya suasana menderita itu mereka ciptakan sendiri.

***

JENDELA ajaib tidak hanya menampilkan kondisi saat ini karena kadang-kadang, jika lagi beruntung, Putri Sheikha juga menyaksikan peristiwa berpuluh tahun kemudian secara tak sengaja. Saat itu akhir pekan ketiga bulan Oktober. Capek rungsing lantaran tidak diajak Mami jalan-jalan, Putri Sheikha memandang ke luar jendela dan pemandangan Pusmeong si kucing belang yang sedang mengorek-korek tong sampah tiba-tiba berubah menjadi kelebatan kaleidoskop sosok yang sepintas mirip Ate Tika.

Putri Sheikha melihat sang bibinda yang berusia lima belas tahun lebih tua itu dengan telaten tengah merawat seorang pasien. Pasien itu nyonya tua yang dicampakkan anak-anaknya. Lima tahun menghuni panti jompo, ia ditemukan tak sadarkan diri di kamar mandi. Jaminan sosial negara memungkinkan nyonya tua dirawat di rumah sakit oleh Ate Tika.

Ate Tika yang Putri Sheikha saksikan di jendela ajaib bukanlah Ate Tika yang ia kenal saat ini. Jika Ate di jendela telah selesai dengan dirinya sendiri, Ate yang sekarang masih gamang menentukan tujuan hidup. Kegamangan Ate Tika, menurut hemat Putri Sheikha yang mungil dan lucu, sebenarnya dapat segera usai apabila ia mau sedikit saja memikirkan urusan yang lebih besar ketimbang urusan pribadinya semata.

Jendela ajaib suatu kali juga pernah melontarkan Putri Sheikha ke masa silam. Di jendela ia melihat Dayang Roes sedang tidur di sepetak karpet bayi di ruang tamu.

Beranjak ke kamar yang tiga puluh tahun lalu jadi kamar tidurnya, ia melihat Mami muda tidur dengan seorang bayi. Ia tersenyum geli, Mami dan si bayi pose tidurnya persis sama: tangan dan kaki ke mana-mana. Tidak dapat disangkal, dia mewarisi tabiat Mami meski parasnya jelas berasal dari Papi.

Di tengah malam yang sama, 1.309 kilometer jauhnya, Putri Sheikha melihat Papi sedang duduk tafakur di kamar. Penasaran, ia melihat lebih dekat untuk mengetahui lebih lanjut. Dengan kaki bersandar di meja dan kopi hitam yang mendingin, ternyata Papi tengah mengetik sesuatu di ponsel. Di ujung ketikan, papinya yang ganteng tapi sayang istri itu menulis begini:

“Tahniah, Anakku. Hari ini genap satu tahun usiamu. Terlalu cepat waktu berlalu tapi terlampau panjang masa yang akan datang. Waktu akan memusnahkan kita semua, perlahan tapi pasti. Maka syukurilah waktu yang diberikan Tuhan untuk kita dengan sebaik-baik rasa syukur. Mudah-mudahan dengan begitu Tuhan mengizinkan kita lebih lama menikmati waktu untuk berbahagia dan berbuat lebih banyak kebajikan.”

Siak Sri Indrapura, 07122018, 00.01 WIB