Identitas Bangsa dalam Balutan Budaya Pop

Budaya Populer di Indonesia/Jalasutra.com
Budaya Populer di Indonesia/Jalasutra.com

BUAT kebanyakan orang, kemunculan Inul Daratista dan segenap kontroversi yang menyertainya beberapa tahun lalu tidak bisa dikaitkan dengan transisi politik yang tengah memanas saat itu. Inul adalah persoalan lain yang berbeda dengan, misalnya, reformasi birokrasi, pengarusutamaan gender, atau revivalisme Islam yang menguat berbarengan dengan tumbangnya rezim otoriter Orde Baru.

Juga ketika band Indonesia Peterpan (almarhum) begitu merajai tangga lagu Malaysia, kita mengira fenomena itu sama sekali di luar konteks ideologis saat itu. Kita tahu, hubungan bilateral kedua negara tengah meruncing gara-gara klaim kedaulatan (baca: Ambalat). Tensi kita meninggi dan seruan “ganyang Malaysia” dikumandangkan di seantero negeri sementara, dalam waktu bersamaan, kita juga gandrung kepada Siti Nurhaliza, biduan Malaysia yang lagi naik daun.

Karena pelbagai alasan—baik politik, moral, maupun ideologis—budaya populer Indonesia cenderung diremehkan dan paling jauh hanya diterima dengan gamang (hal. 4). Kita seringkali mengabaikan relevansi budaya pop dengan kekuatan-kekuatan itu dalam penelitian ilmiah secara umum. Sekalipun ada penelitian yang mengupasnya, budaya pop cenderung diabaikan atau disalahpahami.

Tepat di titik itulah buku ini bertolak. Karya yang awalnya merupakan makalah yang disunting begawan ilmu sosial kita, Ariel Heryanto, untuk konferensi bertajuk Southeast Asia: A Global Crossroads di Thailand pada 8-9 Desember 2005 ini memuat sembilan tulisan yang menyigi budaya pop Indonesia. Penulisnya kebanyakan berasal dari Australia atau sarjana jebolan universitas di Australia.

Tulisan-tulisan dalam buku ini diurutkan berdasarkan topik. Bab 1 pengantar; Bab 2, 3, 4 mengulik dunia perfilman; Bab 5, 6, 7, 8 mengulas acara televisi; dan Bab 9 mengupas evolusi musik di perkotaan. Ariel Heryanto membuka untaian bab dengan menjelaskan pertautan budaya pop dan persaingan identitas. Kasus Inul Daratista, menurut dia, adalah perpaduan antara Islamisasi semu, kuasa Jakarta, budaya patriarki, dan arogansi kelas atas (hal. 42).

Di bab berikut, Marshall Clark dari Universitas Nasional Australia (ANU) menguraikan korelasi politik, gender, dan sensor dalam dunia perfilman kita. Munculnya sudut pandang maskulin dalam masyarakat Indonesia sebenarnya berkelindan dengan logika kekerasan dan watak maskulin film-film kita. Kemudian, David Hanan dari Universitas Monash, Australia, melihat bahwa film Indonesia dan Thailand yang ia bandingkan sama-sama hendak merangkul kemodernan tapi dengan tetap memberi perhatian pada tradisi (hal. 100).

Bab-bab seterusnya menelaah bagaimana acara televisi telah menyihir masyarakat kita. Rachmah Ida dari Universitas Airlangga, Surabaya, meneliti ketertarikan perempuan kelas-bawah di Surabaya pada serial drama Asia, Meteor Garden. Dia menemukan bahwa ketertarikan mereka seolah-olah merupakan bentuk perlawanan terhadap dominasi budaya pop Barat.

Kajian soal acara televisi dilanjutkan oleh Penelope Coutas dari ANU, Vissia Yulianto dari Universitas Albert-Ludwigs, Jerman, dan Edwin Jurriens dari Universitas Melbourne. Sementara, di bab pamungkas, Max M Richter dari Universitas Monash meneliti beberapa acara musik di Yogyakarta pada 2001 yang disebutnya “Dunia Lain” (hal. 243).

Kendati diluncurkan empat tahun setelah buku aslinya terbit, karya terjemahan ini—yang dialihbahasakan dengan sangat menawan—tak kehilangan aktualitasnya. Buku ini sangat relevan dengan situasi saat ini, tatkala upaya pencarian identitas kebangsaan kita belum menemukan benang merahnya nan pasti. [08092012, 20.36]


Judul: Budaya Populer di Indonesia: Mencairnya Identitas Pasca-Orde Baru | Judul Asli: Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics (Routledge, 2008) | Penulis: Ariel Heryanto (ed.), dkk | Penerjemah: Eka S Saputra | Penerbit: Jalasutra, Yogyakarta | Tahun: Cetakan I, Agustus 2012 | Tebal: viii + 320 halaman | ISBN: 978-602-8252-81-2


*) Tulisan ini pertama kali disiarkan oleh harian Koran Jakarta pada 27 September 2012.